MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Suku Mentawai berada di empat pulau besar di
kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan.
Jarak antara kepulauan Mentawai dan Pantai Padang lebih kurang 100
kilometer. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam
sebuah Uma. Uma merupakan rumah panggung khas sumatra yang terbuat dari kayu.
Di Mentawai, sebuah Uma biasanya dihuni oleh 5 sampai 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang dituakan oleh suku Mentawai. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit.
Kesederhanaan
hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian
suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit
yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara
bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai
kain.
Sikerei,
tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita,
untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga
berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun
rumbia hingga berbentuk seperti baju. Namun bukan berarti suku Mentawai belum
mengenal pakaian, karena ada beberapa dari mereka yang sudah mengenakan pakaian
yang sederhana dan juga kain sarung.
Suku
Mentawai hidup terikat dengan aturan adat. Salah satu aturan adat yang selalu
mereka jalankan yakni Arat Sabulungan. Arat berarti adat, sementara Sabulungan
berarti daun. Jika diartikan, Arat Sabulungan aturan yang berlaku di suku
Mentawai agar menghormati dan menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur
Mentawai, daun diyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung,
dewa laut, serta dewa air.
Suku
Mentawai juga meyakini daun menjadi penghubung antara Sang Pencipta dengan
manusia. Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai terhadap kekuatan daun,
pantang bagi keturunan suku Mentawai untuk merusak hutan. Mereka dilarang untuk
menebang hutan sembarangan. Untuk memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil
ranting pohon yang telah jatuh ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat
sanksi adat. Bahkan mereka percaya, jika merusak hutan, musibah dapat
menghampiri kehidupan masyarakat Mentawai. Oleh sebab itu, setiap kali mereka
menebang pohon sagu untuk diolah menjadi bahan makanan, suku Mentawai
menggantinya dengan menanam pohon sagu yang baru.
Hutan
menjadi tempat utama bagi kehidupan suku Mentawai. Mereka mendirikan Uma di
dalam hutan dan mereka juga mencari hewan buruan untuk dimakan, seperti monyet,
babi hutan, dan juga kelelawar. Jika dibandingkan dengan jenis hewan lainnya,
suku Mentawai menganggap monyet sebagai hasil buruan yang paling berharga. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup, mereka tidak hanya bergantung pada berburu. Mereka
mencukupi kebutuhan makan dengan cara beternak babi dan ayam.
Ketika ada
warga berhasil mendapat buruan monyet, mereka memanggil anggota keluarga serta
kerabat lainnya untuk ikut menikmati monyet tersebut. Membagi rata hasil buruan
dan harus dihabiskan tanpa sisa. Mereka percaya, jika ada hasil buruan yang
tidak dihabiskan, maka malapetaka akan menimpa seluruh keluarga. Jenis hewan
yang pantang untuk diburu adalah anjing. Mereka menganggap, membunuh dan
memakan anjing merupakan sebuah pelanggaran adat. Bagi mereka, anjing merupakan
hewan kesayangan yang hanya boleh untuk dipelihara bukan untuk dimakan.
Selain itu masyarakat
suku Mentawai memiliki kebiasaan yang unik, yakni menato tubuhnya. Bagi mereka
menato merupakan cara untuk memperindah tubuh mereka yang tidak menggunakan busana.
Namun tidak sembarang orang yang boleh menato, hanya Sikerei lah yang boleh
untuk menato tubuh masyrakat suku Mentawai. Mereka masih menggunakan alat-alat
yang sederhana dan juga bahan yang digunakan terbuat dari alam.
Kesimpulan :
Bahwa manusia dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat dan mendasar. Meskipun memiliki kebiasaan dan adat yang berbeda-beda, dan sebagai makhluk sosial mereka tetap mampu hidup saling berdampingan. Mereka masih terkebelakang terutama dalam hal pakaian namun itu merupakan kebudayaan leluhur yang selalu mereka jaga.
(Sumber : Google and Trans7)