Selasa, 16 Oktober 2012

Suku Mentawai di Sumatra Barat


MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

 

Suku Mentawai berada di empat pulau besar di kepulauan Mentawai yakni Sibora, Siberut, Pagai Utara serta Pagai Selatan. Jarak antara kepulauan Mentawai dan Pantai Padang lebih kurang 100 kilometer.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah panggung khas sumatra yang terbuat dari kayu.

Di Mentawai, sebuah Uma biasanya dihuni oleh 5 sampai 7 kepala keluarga dari keturunan yang sama. Satu diantaranya anggota yang tinggal dalam sebuah rumah disebut Sikerei. Sikerei itulah yang dituakan oleh suku Mentawai. Uma menjadi pusat kehidupan bagi suku Mentawai. Di dalam Uma itulah, suku Mentawai tinggal, menyelenggarakan pertemuan dan melaksanakan berbagai macam acara adat, seperti penikahan. Uma juga menjadi tempat untuk menyembuhkan anggota keluarga jika ada yang sakit.

Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain.
 
Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju. Namun bukan berarti suku Mentawai belum mengenal pakaian, karena ada beberapa dari mereka yang sudah mengenakan pakaian yang sederhana dan juga kain sarung.

Suku Mentawai hidup terikat dengan aturan adat. Salah satu aturan adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat Sabulungan. Arat berarti adat, sementara Sabulungan berarti daun. Jika diartikan, Arat Sabulungan aturan yang berlaku di suku Mentawai agar menghormati dan menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa air.

Suku Mentawai juga meyakini daun menjadi penghubung antara Sang Pencipta dengan manusia. Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai terhadap kekuatan daun, pantang bagi keturunan suku Mentawai untuk merusak hutan. Mereka dilarang untuk menebang hutan sembarangan. Untuk memasak, mereka hanya diperbolehkan mengambil ranting pohon yang telah jatuh ke tanah. Jika melanggar, mereka akan mendapat sanksi adat. Bahkan mereka percaya, jika merusak hutan, musibah dapat menghampiri kehidupan masyarakat Mentawai. Oleh sebab itu, setiap kali mereka menebang pohon sagu untuk diolah menjadi bahan makanan, suku Mentawai menggantinya dengan menanam pohon sagu yang baru.

Hutan menjadi tempat utama bagi kehidupan suku Mentawai. Mereka mendirikan Uma di dalam hutan dan mereka juga mencari hewan buruan untuk dimakan, seperti monyet, babi hutan, dan juga kelelawar. Jika dibandingkan dengan jenis hewan lainnya, suku Mentawai menganggap monyet sebagai hasil buruan yang paling berharga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka tidak hanya bergantung pada berburu. Mereka mencukupi kebutuhan makan dengan cara beternak babi dan ayam.
Ketika ada warga berhasil mendapat buruan monyet, mereka memanggil anggota keluarga serta kerabat lainnya untuk ikut menikmati monyet tersebut. Membagi rata hasil buruan dan harus dihabiskan tanpa sisa. Mereka percaya, jika ada hasil buruan yang tidak dihabiskan, maka malapetaka akan menimpa seluruh keluarga. Jenis hewan yang pantang untuk diburu adalah anjing. Mereka menganggap, membunuh dan memakan anjing merupakan sebuah pelanggaran adat. Bagi mereka, anjing merupakan hewan kesayangan yang hanya boleh untuk dipelihara bukan untuk dimakan.

Selain itu masyarakat suku Mentawai memiliki kebiasaan yang unik, yakni menato tubuhnya. Bagi mereka menato merupakan cara untuk memperindah tubuh mereka yang tidak menggunakan busana. Namun tidak sembarang orang yang boleh menato, hanya Sikerei lah yang boleh untuk menato tubuh masyrakat suku Mentawai. Mereka masih menggunakan alat-alat yang sederhana dan juga bahan yang digunakan terbuat dari alam.


Kesimpulan :
 Bahwa manusia dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat dan mendasar. Meskipun memiliki kebiasaan dan adat yang berbeda-beda, dan sebagai makhluk sosial mereka tetap mampu hidup saling berdampingan. Mereka masih terkebelakang terutama dalam hal pakaian namun itu merupakan kebudayaan leluhur yang selalu mereka jaga.


(Sumber : Google and Trans7)